Senin, 20 Maret 2017

Cacing Tanah

         Sekali, aku pernah mendapati hewan kecil yang menggelikan itu di tanah lembab. Saat itu hujan. Jalanan licin, lumut memenuhi trotoar jalan. Aku lupa tepatnya dimana, katakanlah itu tempat entah berantah. Tak ada ketakutan yang hampir, malah adanya kelucuan. Jujur, di trotoar yang licin berwarna hijau itu, cacing-cacing menari di genangan ait. Ah, rupanay cacing juga pandai berguyon. Gerak dan lekuk badannya yang menggelikan membuatku menghentikan langkah. Hujan, ah, tidak, gerimis. Ya, waktu itu gerimis, aku rada-rada lupa. Pakain yang kukenakan perlahan basah, malah menambah kesenangan diri ini untuk terus mengamati gerak cacing
         "Kau mau ke mana, heh?" Cobaku bergurau. Tentu cacing tak bisa berbicara.
         Untuk saat ini aku ingin membahas tentang basa kering kehidupan. Oh tidak, saya bukan seorang kia atau unstad penceramah di masjid-masjid atau tempat perkumpulan orang banyak. Tidak. Aku hanya ingin membagi apa yang kupahami. Ah, kenapa aku malah membahas pada hal yang satu itu. Baiklah, kembali pada cacing yang menggelikan itu. Filosofi cacing akan kutulis di bagian lain. Untuk saat ini aku hanya ingin memandang cacing yang sesungguh-sungguhnya cacing.
         Tepat di perjalanan, cacing itu menggeliut. Sangat lihai, tentu kalau dibandingkan dengan perempuan, cacing itu adalah makhluk yang seksinya minta ampun. Dia tidak bertulang, hingga membuat mata yang melihatnya merasa geli. Ini serius, aku tidak bercanda.
         Ketika sesuatu menjadi hal yang utama, sesuatu yang lain terabaikan. Ya, memang demikian, aku malah lebih asyik memerhatikan cacing itu daripada perempuan muda yang berkeliaran di samping jalan. Kok aku bisa tahu bahwa ada perempuan berkeliaran? Sedang aku sendiri tidak memerhatikannya. Ah, itulah keunikannya. Kita tidak lantas mengatakan ini itu kalau tidak merasakan apa yang dirasakan. Perasaanku mengatakan begitu, saat itu.
         Hujan dan gerimis, cacing yang melata. Aku teringat cerita tentang nabi yang menjadi cacing. Mungkin cacing yang kudapati adalah bagian dari keluarga nabi itu. Ah, tentu pikiranku ngaur. Tidak mungkinlah cacing di entah berantah begitu cepat tersebar, sedang jalannya saja begitu, lamanya minta ampun. Aku menunggu cacing itu pergi dari tempat yang pertama kali kujumpai, lama. Kepalaku basah. Sebenarnya ke manakah tujuan cacing itu?
         Coba kuamati. Rupanya, cacing itu juga mencari selamat. Tidak hanya manusia saja. Duh, cacing yang berusaha menjauhi jalanan beraspal. Insting mencari keselamatan begitu kuat di setiap makhluk. Aku pikir demikian, tidak suatu makhluk yang cari mati di dunia ini, orang gila sekali pun![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar