Kamis, 02 Maret 2017

Menulislah, Sebelum Menulis Itu Dilarang

TB: Ali Mukoddas

Memikirkan apa yang akan membuat kapasitas otak meningkat? Atau, pertanyaan mudahnya, pekerjaan apa yang membuat kita bisa berpikir? Rupanya hanya memiliki satu jawaban, menulis. Ya, menulis. Hal yang satu ini dapat dilakukan siapa saja, walau ini merupakan bagian dari pilihan.
“Menulis adalah kegiatan berpikir, dan membaca adalah kegiatan mempelajari pikiran orang lain.” Demikian yang diungkapkan Eka Kurniawan dalam tulisannya. Memang, menulis tak pernah lepas dari yang namanya membaca—membaca apa saja, dan membaca membutuhkan kesadaran. Sebagai penulis, saat membaca tidak hanya sekadar membaca, tapi menjadi tiga sifat sekaligus. Membaca dengan satu orang bisa dilakukan dengan berbagai sudut pandang bagi penulis. Pertama, penulis membaca seperti orang yang tak tahu menahu. Kedua, penulis membaca dengan cara menikmati. Ketiga, penulis menjadi kritikus dalam karya yang dibaca. Terakhir adalah kesimpulan, dari sudut manakah tulisan itu dipandang memiliki nilai plus, sekaligus mencaci maki kesalahannya dengan memperbaiki.
Kelebihan seorang penulis, dia bisa melanjutkan kisah yang dibacanya dengan versi dia sendiri. Sekali pun cerita itu tidak tamat, apalagi memang benar-benar tamat, penulis bisa melanjutkannya. Tulis menulis, terutama fiksi dapat menciptakan dunianya sendiri. Kalau dalam kenyataan si penulis miskin, dia bisa menjadi orang terkaya di dunia dalam karangannya. Eh, mumpung menyinggung masalah penulis dan pengarang, ada dua perbedaan dari dua kata itu. Pengarang sudah pasti penulis, sedang penulis belum tentu pengarang.
Demi menjaga keadilan tentang menulis, penulis memerdekakan dirinya dari kurungan angan dan khayalan. Khayalan yang tinggi tercipta dari bagaimana dia membaca kehidupan. Masalah membaca sudah disinggung di kalimat sebelumnya, namun perlu dipertegas, bahwa membaca tidak terbatas pada hal yang tertulis, tidak hanya pada teks.
Orang yang sering nonton film, membaca buku, membaca berita, jauh berbeda dengan mereka yang tak melakukan apa pun dalam hidupnya, jangankan membaca, menonton film yang sebenarnya menyenangkan saja tidak. Bagaimana kita memahami lingkungan sekitar, sedang kita hanya berada dalam satu ruang lingkup. Kita hidup dalam peti, sepertinya demikian yang diungkapkan Taufiq Ismail. Manusia hidup dalam peti, beranak pinak dalam peti, serta mati dalam peti. Lebih parahnya lagi, mereka yang tidak sadar bahwa kadang dirinya membuat peti dalam peti, ini yang lebih parah.
Semua hal mudah saja dilakukan, selama ada keinginan, begitupun dengan apa yang akan kita lakukan. Apalagi hanya sekadar menulis, masa beberapa menit tidak bisa meluangkan waktu? Kebaikan dalam menulis. Ah, kenapa aku malah bertutur tentang menulis? Baiklah, ini tercipta karena inginnya rasa kesadaran dari teman-teman sekitar yang tidak mau tahu menahu dengan dirinya sendiri.
Beruntunglah mereka, orang-orang yang mau melakukan hal-hal yang membuat jaringan kapasitas otaknya bertambah. Semoga kebodohan terstruktur jauh dari kehidupan menulis. Menulis untuk menyambung nama. Baiklah, kalau dalam dunia bela diri, seorang legendaris baru dikenang namanya setelah lima tahun orang itu meninggal, atau seorang cendekiawan akan dikenang ketika dua puluh tahun orang itu meninggal, maka bagiku, penulis akan dikenal sejak hari pertama dia meninggal.[]

2 Maret 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar