TB: Ali Mukoddas
Memikirkan apa yang akan membuat kapasitas otak meningkat? Atau, pertanyaan mudahnya, pekerjaan apa yang membuat kita bisa berpikir? Rupanya hanya memiliki satu jawaban, menulis. Ya, menulis. Hal yang satu ini dapat dilakukan siapa saja, walau ini merupakan bagian dari pilihan.
Memikirkan apa yang akan membuat kapasitas otak meningkat? Atau, pertanyaan mudahnya, pekerjaan apa yang membuat kita bisa berpikir? Rupanya hanya memiliki satu jawaban, menulis. Ya, menulis. Hal yang satu ini dapat dilakukan siapa saja, walau ini merupakan bagian dari pilihan.
“Menulis adalah kegiatan
berpikir, dan membaca adalah kegiatan mempelajari pikiran orang lain.” Demikian
yang diungkapkan Eka Kurniawan dalam tulisannya. Memang, menulis tak pernah
lepas dari yang namanya membaca—membaca apa saja, dan membaca membutuhkan
kesadaran. Sebagai penulis, saat membaca tidak hanya sekadar membaca, tapi
menjadi tiga sifat sekaligus. Membaca dengan satu orang bisa dilakukan dengan
berbagai sudut pandang bagi penulis. Pertama, penulis membaca seperti orang
yang tak tahu menahu. Kedua, penulis membaca dengan cara menikmati. Ketiga,
penulis menjadi kritikus dalam karya yang dibaca. Terakhir adalah kesimpulan,
dari sudut manakah tulisan itu dipandang memiliki nilai plus, sekaligus mencaci
maki kesalahannya dengan memperbaiki.
Kelebihan seorang penulis, dia
bisa melanjutkan kisah yang dibacanya dengan versi dia sendiri. Sekali pun
cerita itu tidak tamat, apalagi memang benar-benar tamat, penulis bisa
melanjutkannya. Tulis menulis, terutama fiksi dapat menciptakan dunianya
sendiri. Kalau dalam kenyataan si penulis miskin, dia bisa menjadi orang
terkaya di dunia dalam karangannya. Eh, mumpung menyinggung masalah penulis dan
pengarang, ada dua perbedaan dari dua kata itu. Pengarang sudah pasti penulis,
sedang penulis belum tentu pengarang.
Demi menjaga keadilan tentang
menulis, penulis memerdekakan dirinya dari kurungan angan dan khayalan. Khayalan
yang tinggi tercipta dari bagaimana dia membaca kehidupan. Masalah membaca
sudah disinggung di kalimat sebelumnya, namun perlu dipertegas, bahwa membaca
tidak terbatas pada hal yang tertulis, tidak hanya pada teks.
Orang yang sering nonton film,
membaca buku, membaca berita, jauh berbeda dengan mereka yang tak melakukan apa
pun dalam hidupnya, jangankan membaca, menonton film yang sebenarnya
menyenangkan saja tidak. Bagaimana kita memahami lingkungan sekitar, sedang
kita hanya berada dalam satu ruang lingkup. Kita hidup dalam peti, sepertinya
demikian yang diungkapkan Taufiq Ismail. Manusia hidup dalam peti, beranak
pinak dalam peti, serta mati dalam peti. Lebih parahnya lagi, mereka yang tidak
sadar bahwa kadang dirinya membuat peti dalam peti, ini yang lebih parah.
Semua hal mudah saja dilakukan,
selama ada keinginan, begitupun dengan apa yang akan kita lakukan. Apalagi hanya
sekadar menulis, masa beberapa menit tidak bisa meluangkan waktu? Kebaikan dalam
menulis. Ah, kenapa aku malah bertutur tentang menulis? Baiklah, ini tercipta
karena inginnya rasa kesadaran dari teman-teman sekitar yang tidak mau tahu
menahu dengan dirinya sendiri.
Beruntunglah mereka, orang-orang
yang mau melakukan hal-hal yang membuat jaringan kapasitas otaknya bertambah. Semoga
kebodohan terstruktur jauh dari kehidupan menulis. Menulis untuk menyambung
nama. Baiklah, kalau dalam dunia bela diri, seorang legendaris baru dikenang
namanya setelah lima tahun orang itu meninggal, atau seorang cendekiawan akan
dikenang ketika dua puluh tahun orang itu meninggal, maka bagiku, penulis akan
dikenal sejak hari pertama dia meninggal.[]
2 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar