TB: Dwi Putri
Aku punya firasat bahwa hidupku
tidak akan lama lagi. itulah mengapa aku ingin bergegas menemui Prans. Aku ingin
menangis dalam pelukannya. Selama ini aku hanya larut bersandar di pundaknya
yang kukuh. Lihat! Mimpi saja menipuku.
Aku tak peduli apa kata Prans
nanti. Aku hanya ingin jujur pada cintaku. Seberapa berat pikulan rasa yang
menggebu, mendera, merampas duri dalam
kelam. Aku sudah cukup sabar menahan gila. Bukan kulihat anjing menggonggong di
balik pohon willow. Itu bukan pula serigala. Itu lebih dari iblis, iblis yang
merampas cinta Prans padaku.
Aku tahu kebodohanku dulu. Menolak
Prans. Tapi itu dulu, ketika aku masih memadu kasih dengan Eugene. Dia sudah
pergi, jauh berlari dengan iblis yang lebih kaya dariku. Sejak itu aku mulai
menutup hati, karena kuanggap semua melati hanyalah setan bermantel malaikat.
Prans terus meyakinkanku akan
kasihnya. Dia berjanji kalau hanya akulah satu-satunya wanita dalam hatinya. Dia
pun berjanji, akan menikahi dan memuliakanku laiknya ratu. Kokohnya batu karang
dalam cintaku yang sempat tertutup karena Eugene yang berkhianat, perlahan kini
tergerus lemah pada rayuan Prans.
Prans tertawa atas kemenangannya.
Mencabik-cabik ikatan simpul yang terlalu kuat untuk dilepas. Kedua kali aku
harus membendung rasa sakit. Kisah cintaku mulai merekah pada Prans, dia malah
menjauh dan berlari pada Pethiana yang sehalus sutera, sebening telaga, semanis
madu, dan secantik Aphrodite.
Bukan aku kali ini yang menyerah
pada nafsu iblis. Aku akan menemui Prans dan berjanji membunuh egoku yang
memaksanya seperti Eugene. Dan sekarang? Prans sudah benar-benar seperti
Eugene, meninggalkanku demi wanita yang mencintainya.
Lebanon ikut menari bersama
tetamu yang hadir. Aku menyelinap di balik bangku paling pojok di antara hingar
bingar hiasan pernikahan Prans dan Pethiana. Sudah berapa banyak anggur diteguk
Prans, Pethiana hanya tersenyum menikmati Prans. Tidak! Itu bukan tersenyum,
itu menangis! Mata Pethiana beringas menatapku. Kali ini ia marah, tidak
seperti Pethiana yang dikenal selama ini.
“Argh…!”
Tetamu iba menatapku dalam diam
tak berkutik. Jelas belati di tangan Pethiana berlumuran darah segar. Iblis!
“Aku tahu Prans tak mencintaiku
sepenuh hati, dia hanya merenggut kesucianku, kemudian akan berbalik lagi
padamu. Tak ada cinta di mata Prans padaku, aku tahu! Aku membunuhmu agar Prans
tak ada cinta lagi.” Pethiana menyeringai, mengancam siapa saja yang berani
mendekatiku.
“Prans, datang ke mari, Prans. Aku
tahu kau mencintaiku. Prans, datang ke mari, Prans. Mari kita pulang, kita akan
menikah dan akan menjadi pasangan yang paling bahagia. Itu, kan, yang kau mau? Prans,
jangan diam saja. Bantu aku bangkit, Prans.” Aku menangis kemudian tersenyum,
dan Prans hanya memandangku kaku. Langkahnya menghantam helaian daun millow
yang berguguran mendekati Pethiana. Prans merebut belati dari Pethiana, dan
menusuk dirinya sendiri, tersenyum memeluk dan menciumku perlahan, hingga napas
kami menyatu, hilang bersama.
“Kau lihat, Pethiana? Prans mencintaiku.”
Biarkan cinta datang dan pergi,
merindu lagu bidara—lihat, cinta tak terlalu menyakitkan.
24 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar