Jumat, 24 Februari 2017

Dan Katakan Kau Mencintaiku

TB: Dwi Putri
Aku punya firasat bahwa hidupku tidak akan lama lagi. itulah mengapa aku ingin bergegas menemui Prans. Aku ingin menangis dalam pelukannya. Selama ini aku hanya larut bersandar di pundaknya yang kukuh. Lihat! Mimpi saja menipuku.
Aku tak peduli apa kata Prans nanti. Aku hanya ingin jujur pada cintaku. Seberapa berat pikulan rasa yang menggebu, mendera,  merampas duri dalam kelam. Aku sudah cukup sabar menahan gila. Bukan kulihat anjing menggonggong di balik pohon willow. Itu bukan pula serigala. Itu lebih dari iblis, iblis yang merampas cinta Prans padaku.
Aku tahu kebodohanku dulu. Menolak Prans. Tapi itu dulu, ketika aku masih memadu kasih dengan Eugene. Dia sudah pergi, jauh berlari dengan iblis yang lebih kaya dariku. Sejak itu aku mulai menutup hati, karena kuanggap semua melati hanyalah setan bermantel malaikat.
Prans terus meyakinkanku akan kasihnya. Dia berjanji kalau hanya akulah satu-satunya wanita dalam hatinya. Dia pun berjanji, akan menikahi dan memuliakanku laiknya ratu. Kokohnya batu karang dalam cintaku yang sempat tertutup karena Eugene yang berkhianat, perlahan kini tergerus lemah pada rayuan Prans.
Prans tertawa atas kemenangannya. Mencabik-cabik ikatan simpul yang terlalu kuat untuk dilepas. Kedua kali aku harus membendung rasa sakit. Kisah cintaku mulai merekah pada Prans, dia malah menjauh dan berlari pada Pethiana yang sehalus sutera, sebening telaga, semanis madu, dan secantik Aphrodite.
Bukan aku kali ini yang menyerah pada nafsu iblis. Aku akan menemui Prans dan berjanji membunuh egoku yang memaksanya seperti Eugene. Dan sekarang? Prans sudah benar-benar seperti Eugene, meninggalkanku demi wanita yang mencintainya.
Lebanon ikut menari bersama tetamu yang hadir. Aku menyelinap di balik bangku paling pojok di antara hingar bingar hiasan pernikahan Prans dan Pethiana. Sudah berapa banyak anggur diteguk Prans, Pethiana hanya tersenyum menikmati Prans. Tidak! Itu bukan tersenyum, itu menangis! Mata Pethiana beringas menatapku. Kali ini ia marah, tidak seperti Pethiana yang dikenal selama ini.
“Argh…!”
Tetamu iba menatapku dalam diam tak berkutik. Jelas belati di tangan Pethiana berlumuran darah segar. Iblis!
“Aku tahu Prans tak mencintaiku sepenuh hati, dia hanya merenggut kesucianku, kemudian akan berbalik lagi padamu. Tak ada cinta di mata Prans padaku, aku tahu! Aku membunuhmu agar Prans tak ada cinta lagi.” Pethiana menyeringai, mengancam siapa saja yang berani mendekatiku.
“Prans, datang ke mari, Prans. Aku tahu kau mencintaiku. Prans, datang ke mari, Prans. Mari kita pulang, kita akan menikah dan akan menjadi pasangan yang paling bahagia. Itu, kan, yang kau mau? Prans, jangan diam saja. Bantu aku bangkit, Prans.” Aku menangis kemudian tersenyum, dan Prans hanya memandangku kaku. Langkahnya menghantam helaian daun millow yang berguguran mendekati Pethiana. Prans merebut belati dari Pethiana, dan menusuk dirinya sendiri, tersenyum memeluk dan menciumku perlahan, hingga napas kami menyatu, hilang bersama.
“Kau lihat, Pethiana? Prans mencintaiku.”
Biarkan cinta datang dan pergi, merindu lagu bidara—lihat, cinta tak terlalu menyakitkan.
24 Februari 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar