TB: Ali Mukoddas
Rupanya manusia lebih kritis
saat kecil. Segala pertanyaan yang tak dipikirkan orang dewasa diungkapkan.
Mengapa pesawat bisa terbang, mengapa daun berwarna hijau, mengapa
layang-layang bisa tidak jatuh, mengapa orang butuh makan dan minum? Dan segala
pertanyaan yang kadang ketika dilontarkan pada kita, kita sendiri bingung mau
menjawab apa. Tentu, anak kecil memiliki pemikiran lebih kritis dibanding
kita-kita, entah kalau di antara kalian ada yang lebih kritis, sebab ini jauh
dari penglihatanku. Kadang pemikiran kritis jauh lebih tajam ketika kita
mengasahnya, dibanding pisau atau pedang. Ada yang mengatakan, tulisan itu juga
bagian dari sesuatu yang tajam, ya, itu bisa dibenarkan, sebab menulis tak
lepas dari cara bagaimana kita berpikir. Jadi, jangan remehkan para penulis,
mungkin itu pesanku.
Baiklah, tentang pemikiran
manusia yang tampak tumpul ketika bertambah usia. Saat semua sudah menjadi
biasa, bahkan hal mustahil sekali pun kita anggap lumrah, tak ada bedanya
dengan sesuatu yang telah usang. Apa pun yang sudah menjadi kebiasaan, itu tak
perlu lagi dibahas, demikian pemikiran sebagian orang. Tapi tidak, ternyata hal
yang sangat sering lebih tidak kita pahami dibanding hal yang jarang kita
temui. Memang demikian mungkin sistem kehidupan, siapa yang tidak mau tahu
menahu, dia tidak akan tahu menahu. Andai manusia seperti apa yang ada dalam
game virtual, yang kalau melakukan sesuatu butuh kekuatan, dan kekuatan itu
tidak bisa didapat hanya dengan diam, pasti akan ada sedikit hal yang bisa
dipahami. Bebal, hal yang serba instan membuat manusia berpikiran seperti
robot, bebal. Kode merah tetap merah, tidak bisa diubah hijau.
Bayangkan saja, kalau manusia
hanya menggunakan pikirannya saja, tanpa melibatkan emosi yang merupakan
perasaan, mungkin tak akan ada senyum, tak ada tawa, atau ekspresi marah sekali
pun. Jadi apa bedanya dengan robot? Ketika kita melihat orang mengemis di
halaman rumah, secara pemikiran, buat apa kita memberinya sesuatu? Tapi menurup
perasaan? Kasihan. Kata kasihan sebenarnya kurang tepat, karena kita tidak
pernah tahu orang yang mengemis itu lebih buruk atau malah lebih baik dari
kita, tapi katakanlah itu karena perasaan yang tersentuh. Orang kebanyakan
mengatakan, tidak enak rasa.
Tentang dunia, rupanya manusia
telah memprediksikan banyak hal di masa depan. Kehidupan yang lebih canggih,
dan sebagainya. Kebanyakan sudah tergambar jelas di dunia fantasi yang
berbentuk film. Bisa jadi, orang yang mengarang film-film dengan latar waktu
masa depan itu berdasarkan rasio, yang kemudian tersambung ke alam bawah sadar,
tersebab pemikiran yang dalam. Pemikiran yang dalam, kadang bersentuhan dengan
Tuhan, di sanalah kemudian tercipta imajinasi yang kuat, yang ketika kita
pikirkan ulang cukup nyambung dibanding melihat mengapa lampu bisa terang hanya
dengan dialiri listrik. Hal yang akan terjadi di tahun-tahun berikutnya seakan
sudah lebih dulu diperankan dunia perfilm, terutama kartun yang berbentuk
fantasi. Tidak ada hal yang tidak mungkin, kalimat ini terkesan mengerikan.
Kalau dipikirkan lebih jauh, jangan-jangan dajal dan sejenisnya dibuat manusia
sendiri seperti halnya robot makan tuan. Selama kita berada di tahun yang belum
terjadi, semua tampak biasa-biasa saja.
Kalau mau mengkritisi sesuatu,
tentu kita melibatkan perasaan seperti halnya saat kita kecil. Kalau hanya
melibatkan pikiran saja, kadang malah sesat yang ada. Demikianlah, kita kalah
pada diri sendiri, juga kalah pada waktu. Usia semakin berkurang, bukan
bertambah, pemikiran semakin menurun, bukan meningkat. Jadi, masa kecil adalah
ketika pemikiran kita tinggi dan mengasahnya, maka akan menjadi manusia yang berpemikiran.
Masa kecil masa dengan kepolosan, hanya waktu yang bisa membuatnya menjadi
tegar, tidak polos lagi, seperti halnya kedewasaan.
23 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar