Sabtu, 18 Februari 2017

Belajar pada Bocah

TB: Ali Mukoddas

Rupanya manusia lebih kritis saat kecil. Segala pertanyaan yang tak dipikirkan orang dewasa diungkapkan. Mengapa pesawat bisa terbang, mengapa daun berwarna hijau, mengapa layang-layang bisa tidak jatuh, mengapa orang butuh makan dan minum? Dan segala pertanyaan yang kadang ketika dilontarkan pada kita, kita sendiri bingung mau menjawab apa. Tentu, anak kecil memiliki pemikiran lebih kritis dibanding kita-kita, entah kalau di antara kalian ada yang lebih kritis, sebab ini jauh dari penglihatanku. Kadang pemikiran kritis jauh lebih tajam ketika kita mengasahnya, dibanding pisau atau pedang. Ada yang mengatakan, tulisan itu juga bagian dari sesuatu yang tajam, ya, itu bisa dibenarkan, sebab menulis tak lepas dari cara bagaimana kita berpikir. Jadi, jangan remehkan para penulis, mungkin itu pesanku.
Baiklah, tentang pemikiran manusia yang tampak tumpul ketika bertambah usia. Saat semua sudah menjadi biasa, bahkan hal mustahil sekali pun kita anggap lumrah, tak ada bedanya dengan sesuatu yang telah usang. Apa pun yang sudah menjadi kebiasaan, itu tak perlu lagi dibahas, demikian pemikiran sebagian orang. Tapi tidak, ternyata hal yang sangat sering lebih tidak kita pahami dibanding hal yang jarang kita temui. Memang demikian mungkin sistem kehidupan, siapa yang tidak mau tahu menahu, dia tidak akan tahu menahu. Andai manusia seperti apa yang ada dalam game virtual, yang kalau melakukan sesuatu butuh kekuatan, dan kekuatan itu tidak bisa didapat hanya dengan diam, pasti akan ada sedikit hal yang bisa dipahami. Bebal, hal yang serba instan membuat manusia berpikiran seperti robot, bebal. Kode merah tetap merah, tidak bisa diubah hijau.
Bayangkan saja, kalau manusia hanya menggunakan pikirannya saja, tanpa melibatkan emosi yang merupakan perasaan, mungkin tak akan ada senyum, tak ada tawa, atau ekspresi marah sekali pun. Jadi apa bedanya dengan robot? Ketika kita melihat orang mengemis di halaman rumah, secara pemikiran, buat apa kita memberinya sesuatu? Tapi menurup perasaan? Kasihan. Kata kasihan sebenarnya kurang tepat, karena kita tidak pernah tahu orang yang mengemis itu lebih buruk atau malah lebih baik dari kita, tapi katakanlah itu karena perasaan yang tersentuh. Orang kebanyakan mengatakan, tidak enak rasa.
Tentang dunia, rupanya manusia telah memprediksikan banyak hal di masa depan. Kehidupan yang lebih canggih, dan sebagainya. Kebanyakan sudah tergambar jelas di dunia fantasi yang berbentuk film. Bisa jadi, orang yang mengarang film-film dengan latar waktu masa depan itu berdasarkan rasio, yang kemudian tersambung ke alam bawah sadar, tersebab pemikiran yang dalam. Pemikiran yang dalam, kadang bersentuhan dengan Tuhan, di sanalah kemudian tercipta imajinasi yang kuat, yang ketika kita pikirkan ulang cukup nyambung dibanding melihat mengapa lampu bisa terang hanya dengan dialiri listrik. Hal yang akan terjadi di tahun-tahun berikutnya seakan sudah lebih dulu diperankan dunia perfilm, terutama kartun yang berbentuk fantasi. Tidak ada hal yang tidak mungkin, kalimat ini terkesan mengerikan. Kalau dipikirkan lebih jauh, jangan-jangan dajal dan sejenisnya dibuat manusia sendiri seperti halnya robot makan tuan. Selama kita berada di tahun yang belum terjadi, semua tampak biasa-biasa saja.
Kalau mau mengkritisi sesuatu, tentu kita melibatkan perasaan seperti halnya saat kita kecil. Kalau hanya melibatkan pikiran saja, kadang malah sesat yang ada. Demikianlah, kita kalah pada diri sendiri, juga kalah pada waktu. Usia semakin berkurang, bukan bertambah, pemikiran semakin menurun, bukan meningkat. Jadi, masa kecil adalah ketika pemikiran kita tinggi dan mengasahnya, maka akan menjadi manusia yang berpemikiran. Masa kecil masa dengan kepolosan, hanya waktu yang bisa membuatnya menjadi tegar, tidak polos lagi, seperti halnya kedewasaan.

23 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar