Rabu, 08 November 2017

Puisi

KNA berpuisi lagi....


Sebuah Takbir dan Pendeskripsian

Suatu ketika suara dari mulut bungkam perlu dituangkan. Meski sekadar pemberitahuan atas kebangkitan dari kevakuman, ini cukup berarti. Video ini awalnya sekadar pembangkit untuk membuat video offical pembacaan puisi atau cerpen. Rupanya pembangkit itu kurang jitu tanpa semangat alami. Walau, takbir yang menggema merupakan semangat alami bagi umat islam. Tak ada yang dapat menyanggah hal itu, bahwa takbir adalah penyemangat. Namun kembali ke kata tapi tadi, berkarya tak cukup hanya sekadar penyemangat alami.

Senin, 06 November 2017

Puisi dan Penyatuan dengan Cerita




Dunia itu seperti sesuatu yang tak dapat diraba ketika kita tak bisa memahami suara-suaranya. Berpuisi adalah cara lain untuk mengasah diri melalui keabstrakan kata yang indah, dan memperpadat suatu cerita dalam satu larik.
Sesekali kami warga KNA berpuisi untuk sekadar menghilangkan penat pikir dan kesenangan yang membuat lupa bercerita. Bukan untuk berpindah keteguhan diri dalam mengedepankan cerita pendek, tapi sekadar kreasi, karena puisi bagian dari sastra. Tentu semua tahu akan hal itu.

Sebuah puisi merupakan karakter dari si pembuatnya. Walau tak ada kata atau istilah yang tepat tentang pencarian karakter, karena karakter itu diciptakan bukan dicari. Tak ayal, para pendekar dan kiai yang maqamnya tinggi, kala diamnya mereka berpuisi. Puisi-puisi besar dalam islam dinamakan nadhaman. Puisi-puisi di indonesia lebih dikenal dengan sair, walau pantun dan sejenisnya juga bagian dari puisi karena menyimpan rima dan kata yang indah.

Baiklah, karena warga KNA tak bisa mengeksplore habis-habisan kata-kata indah dalam sebuah cerita, maka warga KNA mencoba berpuisi sebagai pelampiasan hasrat berkata-kata. Silakan disimak.[]


Kamis, 30 Maret 2017

Hidup Itu

Aku tahu satu hal tentang napas. Napas itu kembang kempis di dada. Kalau dirasa seperti kembang api yang meletup-letup. Dengan jelas kukatakan bahwa napas itu hidup. Hidup adalah ketika sesuatu mengalir dengan normal di sebuah tubuh. Kukatakan tubuh apa pun. Namun pertanyaannya, apakah cacing bernapas? Apa makhluk lucu itu memiliki sesuatu yang mengalir? Aku masih penasaran tentang cacing. Awalnya diri ini gemetar bahkan kadang geli menemui makhluk tak bertulang itu.
Cacing adalah hal yang membuatku tahu tentang hidup. Bagaimana aku akan menjelaskanya dengan detail tentang cacing dan hidup serta napas? Aku tak tahu akan menulisnya dari bagian mana. Yang jelas bahwa cacing itu hidup tapi tak hidup. Cacing mati kala ada dalam tanah. Ya, sama seperti manusia saat di dalam tanah. Cacing hidup kala kulihat dia berada di permukaan tanah, menggerakkan perutnya dengan semangat yang tinggi. Kuakui cacing memiliki semangat tinggi dari makhluk mana pun. Bayangkan saja, makhluk tanpa tulang serta panjang dan tak bermata itu bisa hidup dan bertahan. Kukatakan cacing tak bermata karena aku tak pernah melihat matanya.
Cacing memiliki detak yang lembut di tubuhnya. Cacing lebih jaya dan makmur dari kehidupan apa pun. Cacing tak pernah bertengkar seperti ayam. Walau kadang ayam bertengkar karena cacing. Cacing tidak pecundang seperti aku. Dia selalu menampakkan dirinya apa adanya, tanpa satu pun hal yang ditutup-tutupi. Cacing hidup tenteram tanpa memperebutkan makanan, walau kadang dia yang disalah-salahkan karena ada makhluk lain yang suka makan.
Aku pernah mendengar orang mengatakan, "si Bali banyak makan karena cacingan". Cacing yang disalahkan. Padahal aku tak pernah melihat cacing makan nasi atau ikan, malah cacing itu sendiri kadang yang dimakan ikan. Cacing hanya makan tanah. Ini menurutku. Aku tak mau tahu tentang kata para ahli cacing yang mengatakan cacing begini begitu dan sebagainya. Aku membahas cacing berdasarkan kehidupannya yang kutahu. Bahwa cacing benar-benar hidup. Dia tak memilih-milih tempat. Kukatakan cacing ada di mana-mana. Dia berada di pohon, singa, manusia, rumput, ikan, laut, tanah, bahkan di langit. Pernah dengar lubang cacing? Aku kira cacing yang melubanginya. Pernah dengar sapi cacingan, orang cacingan, pohon cacingan? Pernah? Itulah hidup.
Aku pernah membayangkan akan kemungkinan-kemungkinan. Mungkin semua makhluk di dunia ini tak akan hidup tanpa cacing. Bahkan cacing itu sendiri.
Menggelikan memang kalau membahas cacing. Tapi apa tidak lebih menggelikan saat makan mi instan yang tak lebihnya seperti cacing itu?
Dulu cacing hidup dalam keterpurukan. Dia tak mau keluar dari dalam tanah. Konon demikian. Apa ada yang pernah mendengar tentang nabi yang menjadi cacing? Aku lupa namanya siapa. Tapi sering kudengar kisah itu.
Kehidupan dan cacing seperti lantai yang simetris. Keduanya memiliki garis-garis tertentu yang berhubungan. Walau aku bukan ahli cacing, tapi aku ingin menulis bayanganku tentang kehidupan cacing. Katakanlah diri ini sok filosofis tentang cacing. Kalau ada yang menyindir bahwa aku mengungkapkan hal ini disangka mengagung-agungkan si cacing, terserah. Silakan ada yang berpikir diri ini mengangkat derajat cacing yang hina. Yang berpendapat demikian tidak sadar bahwa dirinya memiliki cacing.
Yang berkuasa atas lemah telah lupa satu hal. Yang lemah dan tunduk pada penguasa juga lupa dalam satu hal. Mereka tidak sadar akan adanya cacing dalam diri mereka. Memang aku tak memiliki referensi lebih tentang kecacingan. Tapi aku akan tetap ngotot menulis dan mendalami eksistensi tentang cacing. Awalnya risih membahas cacing. Bahkan saat diri ini lama memikirkannya malah merasa mual, seakan dalam perut ini dipenuhi cacing. Perut berbunyi, itu cacing. Karena membahas cacing akan membuat sadar siapa kita.
Tulisan tentang hidup ini tak lebihnya cacing. Waktu ditulis di kertas ada yang berkomentar tulisanku seperti cacing. Memang benar, karena aku menulis tentang cacing kehidupan. Maaf cacing karena aku telah membawa-bawamu.
Pembahasan kehidupan mendunia, bahkan dari zaman filsuf klasik sampai filsuf modern yang pembahasan tentang kehidupan seperti dikuasai robot. Aku berani bertaruh mesin juga bisa berfilsafat. Coba tanya Google. Tapi aku khawatir mesin bisa paham tentang cacing. Ah, bahkan mesin sendiri pun dipenuhi cacing buatan.
Hidup ini tak lebihnya napas yang ditarik cacing setiap saat. Maka jangan sekali-kali memandang rendah cacing. Walau dia memiliki berbagai ras dan jenis, seperti cacing pita, cacing obat, dan cacing sebagainya, cacing tetap akan ada dalam keterasingannya.
Mungkin tulisan ini hanya omong kosong tentang cacing yang coba diatasnamakan tentang kehidupan dan napas. Tidak. Tidak demikian. Aku hanya ingin memandang napas dari segi cacing. Menjijikkan memang. Tapi bukankah kehidupan jauh lebih menjijikkan? Jujur saja. Manusia yang lupa kapan terbit dan terbenamnya matahari lebih rendah daripada cacing. Orang yang suka menguasai dan memperbudak lebih menjijikkan dibanding cacing. Bagi cacing, cacing yang baik adalah yang berguna bagi apa pun. Sedang manusia? Perlu dipertanyakan. Andai manusia seperti cacing. Walau tanpa tulang dan kaki, dia tetap sebagai cacing yang tak perlu belas-kasih.
Atas nama cacing kuwakilkan diri ini menyampaikan unek-unek. Ceramah versi cacing bahwa: cacing tak butuh gizi dan susu untuk kesehatan badan, cacing tak butuh kehormatan untuk menduduki kekuasaan, cacing tak butuh terkenal untuk dibutuhkan sekitar, dan cacing tak butuh alat pendeteksi yang canggih untuk mengetahui mana tanah yang subur dan tidak. Alangkah cacingnya cacing. Dia benar-benar hidup.

Maaf bila cacing membuat kalian jijik dan geli. Cacing tak pernah bisa bicara dan mengeluh, jadi biarkan aku yang menyampaikan suara cacing. Selama ini dia hanya bisa diam dan menerima segala tuduhan bahwa orang yang perutnya besar itu cacingan, padahal kemasukan ular di semak-semak. Selama ini cacing hanya bisa diam dikatakan dirinya jelek saat terkena panas, hingga ada istilah cacing kepanasan untuk mendeskripsikan tulisan yang jauh dari mapan, cacing diam saja walau itu tidak benar. Dia bergulat saat panas semata-mata menerima keadaan bahwa kemarau tidak selamanya panas, dan penghujan tidak selamanya basah. Cacing bisa hidup di berbagai cuaca. Itu saja. Sekian pengungkapan hidup oleh cacing yang coba selalu bernapas walau dirinya berada dalam tanah.[]

Senin, 20 Maret 2017

Cacing Tanah

         Sekali, aku pernah mendapati hewan kecil yang menggelikan itu di tanah lembab. Saat itu hujan. Jalanan licin, lumut memenuhi trotoar jalan. Aku lupa tepatnya dimana, katakanlah itu tempat entah berantah. Tak ada ketakutan yang hampir, malah adanya kelucuan. Jujur, di trotoar yang licin berwarna hijau itu, cacing-cacing menari di genangan ait. Ah, rupanay cacing juga pandai berguyon. Gerak dan lekuk badannya yang menggelikan membuatku menghentikan langkah. Hujan, ah, tidak, gerimis. Ya, waktu itu gerimis, aku rada-rada lupa. Pakain yang kukenakan perlahan basah, malah menambah kesenangan diri ini untuk terus mengamati gerak cacing
         "Kau mau ke mana, heh?" Cobaku bergurau. Tentu cacing tak bisa berbicara.
         Untuk saat ini aku ingin membahas tentang basa kering kehidupan. Oh tidak, saya bukan seorang kia atau unstad penceramah di masjid-masjid atau tempat perkumpulan orang banyak. Tidak. Aku hanya ingin membagi apa yang kupahami. Ah, kenapa aku malah membahas pada hal yang satu itu. Baiklah, kembali pada cacing yang menggelikan itu. Filosofi cacing akan kutulis di bagian lain. Untuk saat ini aku hanya ingin memandang cacing yang sesungguh-sungguhnya cacing.
         Tepat di perjalanan, cacing itu menggeliut. Sangat lihai, tentu kalau dibandingkan dengan perempuan, cacing itu adalah makhluk yang seksinya minta ampun. Dia tidak bertulang, hingga membuat mata yang melihatnya merasa geli. Ini serius, aku tidak bercanda.
         Ketika sesuatu menjadi hal yang utama, sesuatu yang lain terabaikan. Ya, memang demikian, aku malah lebih asyik memerhatikan cacing itu daripada perempuan muda yang berkeliaran di samping jalan. Kok aku bisa tahu bahwa ada perempuan berkeliaran? Sedang aku sendiri tidak memerhatikannya. Ah, itulah keunikannya. Kita tidak lantas mengatakan ini itu kalau tidak merasakan apa yang dirasakan. Perasaanku mengatakan begitu, saat itu.
         Hujan dan gerimis, cacing yang melata. Aku teringat cerita tentang nabi yang menjadi cacing. Mungkin cacing yang kudapati adalah bagian dari keluarga nabi itu. Ah, tentu pikiranku ngaur. Tidak mungkinlah cacing di entah berantah begitu cepat tersebar, sedang jalannya saja begitu, lamanya minta ampun. Aku menunggu cacing itu pergi dari tempat yang pertama kali kujumpai, lama. Kepalaku basah. Sebenarnya ke manakah tujuan cacing itu?
         Coba kuamati. Rupanya, cacing itu juga mencari selamat. Tidak hanya manusia saja. Duh, cacing yang berusaha menjauhi jalanan beraspal. Insting mencari keselamatan begitu kuat di setiap makhluk. Aku pikir demikian, tidak suatu makhluk yang cari mati di dunia ini, orang gila sekali pun![]

Kamis, 02 Maret 2017

Sahabat

TB: Anna

Sahabat, tiada kata yang indah sebagai pengantar lelap tidurmu selain untaian do'a yang akan senantiasa menjagamu, dan menemanimu ke alam mimpi sepanjang malam.

Tiada pula tempat curhat yang paling nyaman, hanyalah gelaran sajadah di sepertiga malam. Pendengar yang terpercaya hanyalah Dia. Solusi yang terbaik hanyalah Do’a.

Di sepertiga malam-Mu ya Rabb, Di atas sajadah ini kuluruhkan segala rasa yang ada. Dan hanya Engkau-lah sebaik-baiknya tempat kembali.

Sahabat.
Jangan pernah bosan bilamana aku sering mengingatkan dan membangunkanmu di saat kau terlelap dalam tidur, itu semua karena aku ingin kita sama-sama meraih ridhoNya.

Menulislah, Sebelum Menulis Itu Dilarang

TB: Ali Mukoddas

Memikirkan apa yang akan membuat kapasitas otak meningkat? Atau, pertanyaan mudahnya, pekerjaan apa yang membuat kita bisa berpikir? Rupanya hanya memiliki satu jawaban, menulis. Ya, menulis. Hal yang satu ini dapat dilakukan siapa saja, walau ini merupakan bagian dari pilihan.
“Menulis adalah kegiatan berpikir, dan membaca adalah kegiatan mempelajari pikiran orang lain.” Demikian yang diungkapkan Eka Kurniawan dalam tulisannya. Memang, menulis tak pernah lepas dari yang namanya membaca—membaca apa saja, dan membaca membutuhkan kesadaran. Sebagai penulis, saat membaca tidak hanya sekadar membaca, tapi menjadi tiga sifat sekaligus. Membaca dengan satu orang bisa dilakukan dengan berbagai sudut pandang bagi penulis. Pertama, penulis membaca seperti orang yang tak tahu menahu. Kedua, penulis membaca dengan cara menikmati. Ketiga, penulis menjadi kritikus dalam karya yang dibaca. Terakhir adalah kesimpulan, dari sudut manakah tulisan itu dipandang memiliki nilai plus, sekaligus mencaci maki kesalahannya dengan memperbaiki.
Kelebihan seorang penulis, dia bisa melanjutkan kisah yang dibacanya dengan versi dia sendiri. Sekali pun cerita itu tidak tamat, apalagi memang benar-benar tamat, penulis bisa melanjutkannya. Tulis menulis, terutama fiksi dapat menciptakan dunianya sendiri. Kalau dalam kenyataan si penulis miskin, dia bisa menjadi orang terkaya di dunia dalam karangannya. Eh, mumpung menyinggung masalah penulis dan pengarang, ada dua perbedaan dari dua kata itu. Pengarang sudah pasti penulis, sedang penulis belum tentu pengarang.
Demi menjaga keadilan tentang menulis, penulis memerdekakan dirinya dari kurungan angan dan khayalan. Khayalan yang tinggi tercipta dari bagaimana dia membaca kehidupan. Masalah membaca sudah disinggung di kalimat sebelumnya, namun perlu dipertegas, bahwa membaca tidak terbatas pada hal yang tertulis, tidak hanya pada teks.
Orang yang sering nonton film, membaca buku, membaca berita, jauh berbeda dengan mereka yang tak melakukan apa pun dalam hidupnya, jangankan membaca, menonton film yang sebenarnya menyenangkan saja tidak. Bagaimana kita memahami lingkungan sekitar, sedang kita hanya berada dalam satu ruang lingkup. Kita hidup dalam peti, sepertinya demikian yang diungkapkan Taufiq Ismail. Manusia hidup dalam peti, beranak pinak dalam peti, serta mati dalam peti. Lebih parahnya lagi, mereka yang tidak sadar bahwa kadang dirinya membuat peti dalam peti, ini yang lebih parah.
Semua hal mudah saja dilakukan, selama ada keinginan, begitupun dengan apa yang akan kita lakukan. Apalagi hanya sekadar menulis, masa beberapa menit tidak bisa meluangkan waktu? Kebaikan dalam menulis. Ah, kenapa aku malah bertutur tentang menulis? Baiklah, ini tercipta karena inginnya rasa kesadaran dari teman-teman sekitar yang tidak mau tahu menahu dengan dirinya sendiri.
Beruntunglah mereka, orang-orang yang mau melakukan hal-hal yang membuat jaringan kapasitas otaknya bertambah. Semoga kebodohan terstruktur jauh dari kehidupan menulis. Menulis untuk menyambung nama. Baiklah, kalau dalam dunia bela diri, seorang legendaris baru dikenang namanya setelah lima tahun orang itu meninggal, atau seorang cendekiawan akan dikenang ketika dua puluh tahun orang itu meninggal, maka bagiku, penulis akan dikenal sejak hari pertama dia meninggal.[]

2 Maret 2017